Sejarah dan Asal Muasal Desa "Entak"
Nama desa ‘Entak’ berasal dari rangkaian sejarah panjang
yang konon katanya berkaitan langsung dengan Syekh Maulana Nurul Duhur. Syekh Duhur dimakamkan di wilayah selatan desa Entak. Wilayah yang kini menjadi desa
Entak, dulunya dikenal dengan nama Bumi
Rawa Jombor karena di wilayah ini cukup rawan terjadi banjir.
Desa Rawa Jombor adalah pusat pengembangan agama Hindu dan Budha
terbesar di Pesisir Selatan Kebumen. Kemudian, datanglah seorang
pengembara muslim dari Banten yang telah mendapat gelar ulama dari Keraton Mataram yang
dikenal dengan Syekh Maulana Nurul Duhur. Misi utamanya pada saat itu
adalah untuk mengenalkan
dan menyebarkan agama serta ajaran Islam kepada
masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya.
Pada awal kedatanganya di Bumi Rawa Jombor, Syekh
Maulana Nurul Duhur disambut baik oleh masyarakat setempat termasuk I Gusti Gede yang merupakan pemimpiN masyarakat Rawa Jombor pada saat itu. Dengan sikap yang baik, Syekh Maulana Nurul Duhur
membaur bersama masyarakat serta ikut membantu dengan mengajari masyarakat
banyak hal seperti cara-cara bertani, beternak dan sebagainya sembari menanamkan
pemahaman yang menuju pada keyakinan Islam. Hingga akhirnya banyak masyarakat
yang simpatik dan tertarik untuk memeluk Islam.
Pada suatu malam I Gusti Gede memutuskan untuk mendatangi
Syekh Maulana Nurul Duhur dengan tujuan untuk mengusir atau memintanya pergi
meninggalkan Bumi Rawa Jombor secepatnya. Namun, setelah
dilakukan negosiasi I Gusti Gede tetap mengizinkan Syekh Maulana Nurul tinggal
di Bumi Rawa Jombor dengan satu syarat.
Syarat tersebut berbentuk sayembara yang harus bisa
dilakukan oleh Syekh Maulana Nurul Duhur, jika beliau berhasil maka beliau
tetap bisa tinggal di Bumi Rawa Jombor. Sebaliknya
jika beliau gagal memenuhi persyaratan tersebut maka beliau harus segera angkat kaki meninggalkan Bumi Rawa Jombor. Dalam sayembara tersebut, Syekh Maulana Nurul Duhur dituntut
untuk membuat sungai yang airnya bisa mengalir dari Bumi Rawa
Jombor sampai dengan Laut Selatan dalam waktu satu malam, Syekh Maulana Nurul Duhur
langsung menyanggupi sayembara tersebut.
Di saat orang-orang sudah terlelap tidur, beliau pergi
ke tempat yang amat sunyi yaitu di puncak bukit Gunung Gede, sebuah dataran
tinggi yang sunyi yang berada di selatan pemukiman penduduk Bumi Rawa Jombor. Di
tempat tersebut beliau bermunajat memohon pertolongan Allah SWT untuk
sebuah hajat besar memenuhi sayembara membuat kali atau sungai yang airnya bisa mengalir
dari Kampung Rawa Jombor hingga segara laut selatan di waktu malam itu juga.
Singkat cerita, atas izin Allah SWT sungai dari Bumi Rawa Jombor sampai dengan Gunung Gede yang memiliki panjang sekitar 750 meter dan luas sekitar 10 meter berhasil di buat. Namun, karena takut Syekh Maulana Nurul Duhur berhasil menyelesaikan sungai tersebut sampai ke laut selatan, I Gusti Gede berinisiatif berlaku curang dengan membuat seolah-olah waktu telah fajar agar Syekh Maulana Nurul Duhur dinyatakan gagal.
Agar rencananya berhasil I Gusti
Gede memerintah masyarakat untuk membunyikan
lesung sampai terasa ramai, membakar rerumputan yang kering-kering sampai
langit tampak kemerah-merahan seperti waktu fajar, dan ayam berkokok seolah-olah
menandakan sudah masuk fajar padahal sebenarnya masih sekitar jam 3 pagi.
Kemudian I Gusti Gede menghampiri Syekh Maulana
Nurul Duhur, melihat kali tersebut yang belum sampai ke laut selatan. Karena tidak
sempurna I Gusti Gede menganggap sayembara tersebut gagal dipenuhi oleh Syekh Maulana Nurul Duhur. Kemudian I
Gusti Gede langsung mengusir Syekh
Maulana Nurul Duhur dengan mengeluarkan kata-kata yang bernada membentak-bentak,
kurang lebih kalimat tersebut seperti dibawah ini,
"Lunga....!
Lunga......! Ayo lunga seka papan kene,sliramu ki wis batal ora bisa mupu
sayembaraku,mula cepet lunga seka bumi Rawa Jombor kene".
Artinya:
"Pergi......! Hayo pergi dari Kampung ini,kamu itu sudah gagal dalam sayembaraku, maka sekarang harus pergi dari bumi Rawa Jombor ini".
"Pergi......! Hayo pergi dari Kampung ini,kamu itu sudah gagal dalam sayembaraku, maka sekarang harus pergi dari bumi Rawa Jombor ini".
Syekh Maulana Nurul Duhur diam dan sabar menahan dirinya sampai akhirnya setelah I Gusti Gede berhenti berbicara, beliau membalas dengan kalimat yang kurang lebih sebagai berikut,
"He.......,
I Gusti Gede,aku di anggep wis batal anggonku mupu sayembaramu aku
trima,nanging anggonmu muni-muni sarana ngentak-ngentak iku mau ndadekake lara
ana ing atiku,mulane Kanggo Pangeling-eling,yeng teka reja-rejaning jaman,ing
papan kene klebu Rawa Jombor sakiwa tengene besuk bakal dadi Desa kang diarani
NGENTAK (Entak)
Lan maneh I Gusti Gede,aku wis
netepi apa kang dadi sayembaramu,sliramu ngersaake supaya insun yasa kali perlu
kanggo ngiliake banyu kang saka Rawa Jombor nganti segara kidul,rumangsamu kali
iki urung dadi,tegese ingsun mbok anggep gagal nanging titenono,titenono
senajan kali iki urung sampurna nanging kali iki tetep bakal migunani tumrap
ing masyarakat Rawa Jombor sakiwa tengene,mula titenana,tunggunen nganti
setahun,kapan ana mangsa rendeng mangka Desa Rawa Jombor ora bakal kebanjiran
maneh.”
Artinya :
"Hai....I
Gusti Gede, Saya dianggap gagal memenuhi
sayembaramu, tapi dari kata-kata kamu yang kasar dengan
membentak-bentak (Ngentak-Ngentak) itu tadi membuat sakit di hati saya, maka
untuk dingat bahwa, besok ada kemakmuranya waktu di tempat ini termasuk Bumi Rawa
Jombor dan sekitarnya akan di sebut sebagai Desa Ngentak (Entak).
Dan lagi I Gusti Gede,saya sudah
melakukan apa yang menjadi sayembaramu,kamu meminta agar saya membuatkan Kali (
sungai ) untuk mengalirkan air yang dari Rawa Jombor ke laut selatan, menurutmu sungai ini belum jadi, maksudnya saya kamu anggap gagal
membuat sungai, tapi
perhatikanlah, perhatikanlah
bahwa walaupun sungai ini belum sempurna tapi
sungai ini tetap akan bermanfaat bagi masyarakat Rawa Jombor dan
sekitarnya,maka perhatikan,tunggu sampai setahun kedepan,jika sampai musim
penghujan maka Desa Rawa Jombor tidak akan kebanjiran lagi"
Singkat cerita setelah bernegosiasi panjang akhirnya I Gusti Gede memberi kesempatan Syekh Maulana Nurul Duhur untuk kembali tinggal di Bumi Rawa Jombor sampai dengan musim hujan untuk membuktikan ucapannya bahwa sungai tersebut akan tetap bermanfaat walau belum sempurna. Apa yang disampaikan Syekh Maulana ternyata benar,saat musim hujan datang Bumi Rawa Jombor yang biasanya akan kebanjiran saat itu tidak lagi terlihat air yang membanjiri Bumi Rawa Jombor.
Setelah melihat kejadian tersebut I Gusti Gede pun percaya dan akhirnya bersama-sama masyarakat Bumi Rawa Jombor menyerahkan diri pasrah kepada Syekh Maulana Nurul Duhur untuk masuk Islam. Kemudian Pura tempat peribadah yang berada di Bumi Rawa Jombor dijadikan Mushola bernama SIGONG.
Hingga akhirnya
Bumi Rawa Jombor berganti namanya menjadi Desa Entak, dulu disebut desa Ngentak. Kemudian sesuai
dengan perubahan jaman dan untuk memudahkan pengucapan akhirnya
secara administrasi diubah menjadi Entak yang berlaku hingga saat ini dengan dipimpin oleh seorang Kepala Desa/Lurah.
Comments
Post a Comment